PAK SUMARTOYO

Spread the love

Pak Sumartoyo terlihat sedang serius melakukan pembudidayaan bunga krisan di laboratorium. Ia bekerja di bantu seorang staff dan beberapa pekerjanya. Dari tangannya sudah ribuan bunga krisan dikirim keluar kota dan luar pulau. Ia mengambil kacamatanya, mengusap peluh keringat yang membasahi wajahnya yang mulai keriput lalu memakainya kembali. Pak Sumartoyo adalah seorang pekerja keras. Itu penilaianku.

 

Hari sudah siang, cuaca panas, matahari sudah berada di ubun-ubun kepala.

 

“Pak Toyo, istirahat dahulu, waktunya makan siang,” kataku.

 

“Iya Mas, ” balasnya.

 

Aku berjalan duluan menuju ruang makan. Kulihat Pak Sumartoyo masih fokus bekerja.

 

Pak Sumartoyo dahulu adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi. Entah mengapa dia meninggalkan pekerjaan mengajarnya dan memilih bekerja di sini, di tempatku bekerja juga, di tempat sepi, sebuah rumah retret yang letaknya berada di daerah perbukitan jauh dari keramaian. Sesuai pengetahuannya, ia bekerja di bagian laboratorium untuk melakukan pembudidayaan bunga krisan. Hasil penjualan bunga krisan telah masuk sebagai penyumbang dana terbesar kedua bagi rumah retret ini.

 

Pak Sumartoyo masuk ke rumah retret saat usianya sudah senja dan sampai sekarang belum menikah. Aku teringat akan apa yang di katakan padaku dahulu saat suasana santai :

 

“Saya dahulu menjalin hubungan dengan seseorang, Mas! Namanya Winarti. Kami saling menyayangi. Rasanya kami tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Kami berjanji akan selalu menjaga cinta kami ini dan tidak memberikannya kepada orang lain. Hingga suatu saat Winarti jatuh sakit. Penyakit kanker menggerogoti tubuhnya hingga ia harus pasrah dan akhirnya meninggal. Saya sangat kehilangan dia, sampai sekarang pun rasa kehilangan itu masih sangat terasa. Demi cinta saya kepadanya, lalu saya memutuskan untuk tidak menikah sampai sekarang. Saya ingin menunjukkan kepada Winarti bahwa cinta ini hanya untuk dia, sekalipun ia telah pergi lebih dahulu. Sebenarnya banyak mahasiswi, saat saya masih mengajar dahulu dan wanita-wanita lain yang menyukai saya dan mengharapkan cinta, tetapi saya menolaknya dengan halus. Saya tidak bisa menerima cinta mereka, cinta ini hanya mau saya berikan untuk Winarti. Itu janji saya padanya.

 

Mendengar penuturan Pak Sumartoyo, aku hanya bisa merasa kagum, salut, hebat dan entah pujian apa lagi yang bisa aku katakan tentang kesetiaan Pak Sumartoyo kepada kekasihnya. Semoga nanti di alam keabadian Tuhan persatukan Pak Sumartoyo dengan Winarti lagi.

 

Kulihat Pak Sumartoyo tengah berjalan ke ruang makan.

 

“Mari Pak, ” kataku saat beliau sampai di depan pintu masuk ruang makan bersama, sambil aku mengatur kursi makan untuk tempat duduknya.

 

Pak Sumartoyo duduk, kudekatkan nasi, sayur dan lauk di depannya.

 

“Makan yang banyak Pak, ” kataku.

 

“Iya Mas”

 

Kulihat Pak Sumartoyo makan dengan lahapnya.

 

Oleh : Agustinus Warsito

Dimuat dalam buletin Fides edisi no.124, Oktober thn 2020.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *