Nguwongke Para Korban

Spread the love

Perlu ketelatenan untuk mendengarkan mereka mengemukakan pendapat tentang orang miskin. Selain karena pendapat mereka terasa sangat klise, sebagian besar pendapat-pendapat itu disampaikan dengan gaya yang tak menarik pula. Maklum, mereka masih muda, masih kelas XI atau kelas dua SMA. Tema mengenai orang miskin bukah hal yang biasa mereka perbincangkan dalam hidup harian mereka di rumah maupun di sekolah. Jadi bisa dipahami kalau mereka gagap meskipun fenomena kemiskinan begitu nyata dan jelas bisa dilihat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Anak-anak muda ini adalah para relawan baru yang memutuskan untuk bergabung dengan Solidaritas Relawan Kemanusiaan (SRK). Mereka  sedang belajar mengenal fenomena kemiskinan dan penyebab-penyebabnya.

 

Sebenarnya kami tidak sedang mengadakan pelatihan atau pendidikan untuk relawan baru. Aktivitas di atas dilakukan di sela-sela kesibukan menyiapkan paket bantuan untuk warga desa Karang Tinoto Tuban yang selama 4 bulan terakhir berkali-kali dikurung banjir luapan bengawan Solo. Para relawan baru ini sengaja langsung diajak terjun ke daerah bencana untuk mengalami dan merasakan sendiri menjadi bagian dari warga yang yang terkena banjir. Boleh jadi, ini adalah kegiatan yang mengagetkan  karena berada di tengah-tengah korban banjir sangatlah melelahkan baik secara fisik maupun mental.

 

Pagi hari, mereka harus mengangkat beras, gula, minyak dan lain-lain untuk segera dibungkus dalam kantung-kantung plastik agar siap didistribusikan tepat pada waktunya. Kami yakin, mereka pasti sangat lelah karena sampai siang ini masih ada berkarung-karung sembako yang belum dibungkus. Semangat muda mereka terlihat dari usaha mereka untuk tetap fokus bekerja meski keringat membasahi tubuh. Selalu saja ada yang teriak: semangat..semangat…… atau membuat lelucon-lelucon khas anak muda yang membuat energi seakan terus terbarukan. Helaan nafas panjang sesekali terdengar di antara berisiknya suara plastik kresek pembungkus paket sembako.

 

Kami tidak sekedar membuat acara membagikan paket sembako. Kami ingin belajar, mendengarkan, mengalami dan menjadi sesama bagi para korban banjir. Pembagian paket sembako hanyalah jawaban dari kebutuhan sesaat dari apa yang paling dibutuhkan warga saat ini. Hal penting yang justru harus dipahami para relawan baru ini adalah bahwa semua kepedulian, antusiasme dan usaha-usaha yang dilakukan untuk korban banjir dan kaum miskin pada umumnya harus dimaknai sebagai usaha menegakkan kebaikan umum secara utuh, tidak diredusir hanya soal kemiskinan materi.

 

Bersama lurah setempat, kami mendata para korban banjir yang dirasa paling membutuhkan untuk dikunjungi. Mereka itu adalah para janda, keluarga dengan beban tanggungan besar dan keluarga yang memiliki anggota  yang sedang sakit atau punya keterbatasan fisik. Para relawan muda dengan bekal keterampilan seadanya mengunjungi kediaman mereka satu persatu.

 

Rata-rata warga yang masuk dalam daftar kunjungan adalah warga tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa jawa. Ini tantangan baru bagi relawan muda yang sebagian tidak bisa berbahasa jawa krama. Kalau ngoko mereka bisa. Ngomong memakai bahasa Indonesia tidak dipahami, tetapi kalau memakai bahasa jawa  ngoko  pastilah sangat tidak sopan karena para warga yang hendak dikunjungi rata-rata adalah orang-orang yang berusia lanjut. Tidak mengherankan kalau para relawan terlihat gelisah dan canggung saat akan mengawali kegiatan kunjungan ini. Akhirnya, dengan segala keterbatasan mereka berani juga memulai. Niat baik memunculkan keyakinan dalam diri para relawan ini bahwa  mereka bisa menjalankan tugas  dengan baik meskipun keraguan dan kebingungan sulit diusir dari benak mereka. Kami selalu percaya bahwa ketulusan, sapaan yang santun, perangai yang bersahabat dan tingkah laku yang nguwongke adalah bahasa yang jauh lebih bisa diterima dan dipahami.

 

Sore hari kami istirahat sejenak untuk menepaskan penat setelah seharian berjibaku dengan lumpur dan genangan air serta curhatan warga yang kadang terdengar memilukan. Ini adalah saatnya kami merefleksikan aktivitas kami. Dalam sharingnya, para relawan mengungkapkan aneka perasaan yang mereka rasakan saat bergumul bersama warga korban banjir. Ada perasaan bersyukur, senang, gelisah, takut, tidak terima, bahkan marah.

 

“Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada keluarga yang tega membiarkan orang tua sakit selama bertahun-tahun tanpa pernah mendapatkan perawatan dari dokter.” kata Ari.

 

Senada dengan Ari, Silvana geram dan pilu hati setelah mengetahui ada seorang anak yang dipasung di kandang belakang rumah dengan kondisi yang sangat memprihatinkan lantaran anak ini memiliki keterbelakangan fisik dan mental. Pak Kades yang kami mintai keterangan mengenai hal ini tak mampu memberikan jawaban yang membuat kami lega. “Mau apa lagi, ya beginilah keadaan desa kami.” keluhnya sambil menundukkan kepala pertanda bahwa ia juga tak tahu harus berbuat apa.

 

Beberapa relawan lain menangkap ada fenomena yang mengelisahkan di desa ini. Banyak orang tua yang tinggal sendirian di rumah sementara anak-anak mereka merantau ke kota. Ada yang sebulan sekali datang untuk mengunjungi orang tuanya, ada pula yang sudah bertahun-tahun merantau tapi tak kunjung pulang ke rumah. Konon ada keyakinan di desa ini bahwa jika tidak merantau mustahil orang bisa hidup makmur. Orang tak mungkin kaya jika masih mengandalkan pertanian. Ancaman banjir bisa datang sewaktu-waktu dan menenggelamkan tanaman pertanian seperti sekarang ini. Menurut data Pak Lurah, akibat banjir kali ini tak kurang dari 600 hektar sawah terendam dan padi yang sudah siap panen membusuk di dalamnya. Mungkin inilah alasan mengapa orang-orang muda di desa ini memilih meninggalkan kampung halaman dan meninggalkan orang tua mereka sendirian di rumah.

 

Tita mengungkapkan pengalaman berkesannya berjumpa dengan nenek Mbah Kateni. Nenek ini begitu gembira menyambut kedatangannya. Meski baru kenal, Tita bahkan merasa begitu dekat dengan nenek yang masih terlihat cantik meski sudah tua ini. Dengan bahasa campuran yang kadang tak terlalu dipahami malah menjadikan pembicaraan mereka penuh dengan canda tawa. Hanya hitungan menit, mereka tak lagi merasa sekedar tamu dan tuan rumah. Ada kesan mendalam yang mereka rasakan. Mungkin karena pengalaman disapa dan diperhatikan sangat jarang dialami oleh Mbah Kateni sehingga saat pamitan menjadi detik-detik yang terberat. Kegembiraan yang dialami Mbah Kateni karena menerima sembako tak ada artinya lagi dibanding kegembiraan karena mendapatkan sapaan dan pelukan dari anak muda seusia cucunya itu. Ibarat kata, dia akan rela mengembalikan sembako yang ia terima asal Tita mau sebentar saja menunda kepulangannya.

 

Di sela-sela keluhan warga korban banjir yang rata-rata senada, para relawan menemukan hal-hal yang mengejutkan sebagai dampak dari aneka keterbatasan yang dialami warga. Banjir adalah bencana, namun kadang bencana banjir terasa seperti sekedar celah kecil yang membuat kami melihat fakta-fakta “bencana” lain. Di antara genangan air banjir ini ternyata ditemukan bencana-bencana lain yang tak kalah memilukan.

 

Sharing-sharing di atas adalah sepenggal kisah para anak muda yang berlatih dengan mengalami langsung pembelajaran di lokasi bencana. Mereka ini adalah secercah harapan baru dalam bidang kerelawanan di antara begitu banyak anak muda yang memilih untuk tidak peduli dengan hal-hal yang berbau sosial. Semoga para relawan baru ini semakin memahami bahwa menjadi relawan kemanusiaan bukan hanya tentang menjadi tenaga untuk membagi-bagikan sembako dan turut membersihkan lumpur di rumah-rumah warga yang menjadi korban banjir. Para relawan perlu memahami lebih dulu bidang pekerjaan yang mereka geluti agar keterlibatan mereka dalam SRK tidak menjadi aktivitas tanpa makna. Pemahaman yang benar mengenai kerelawanan, kemiskinan, bencana, dan terutama pemahaman yang benar tentang manusia perlu lebih dahulu ditanamkan. Ke depan, diharapkan mereka tidak hanya menjadi tenaga yang terampil di bidang kebencanaan, tetapi juga menjadi pribadi yang semakin menghargai martabat manusia.

 

Johanes Lasmidi – PPS

Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi no.89, November 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *