PELAYANAN DAN UDARA
Setiap hari aku bernafas secara otomatis. Tubuhku tanpa kuperintah sudah menarik udara dan menghembuskan udara. Aku tidak perlu susah-susah berpikir bagaimana cara menarik nafas lalu menghembuskannya. Oleh karena bernafas menjadi sebuah tindakan otomatis, maka aku baru sadar bahwa aku bernafas bila udara di sekitarku terasa kurang nyaman seperti adanya kabut asap pada akhir-akhir ini atau bau kentut saat sedang misa di stasi dan sebagainya. Bila udara nyaman aku hanya merasakan tetapi tidak berpikir bagaimana harus bernafas.
Iwan Fals dalam lagunya yang berjudul “Ibu” menulis dalam salah satu baitnya, “seperti udara kasih yang kau berikan.” Kasih ibu digambarkan seperti udara. Bagiku ini sebuah definisi kasih yang hebat. Kasih ibu mengalir tanpa kita rasakan bahkan tidak kita pedulikan seperti sebuah tindakan otomatis saat bernafas. Kita baru merasa terkejut saat kasih ibu kita anggap berlawanan dengan keinginan kita. Kita mulai merasa terganggu seperti saat udara dicemari bau busuk yang membuat kita harus berpikir atau mengendalikan nafas kita.
Bagiku pelayanan juga seperti udara bukan angin. Bisa memberi kehidupan orang lain tanpa orang itu menyadarinya. Mengalir tanpa mengusik orang. Tidak ingin menunjukkan kekuatannya seperti angin yang dapat membuat rambut kita berkibar-kibar. Mengalir begitu saja dan memberi kehidupan. Orang baru menyadari pelayanan kita bila mereka menganggap pelayanan kita salah, seperti orang baru menyadari udara saat ada bau busuk. Tetapi setelah pelayanan itu benar maka orang tidak lagi memperhatikan kita. Pelayanan hanya ingin memberi kehidupan tanpa peduli yang dilayani bersyukur atau tidak.
Masalahnya ada banyak orang melayani seperti angin. Dia ingin menunjukkan eksistensi dirinya dalam pelayanan. Pelayanan bukan memberi tetapi mencari sesuatu bagi diri sendiri, entah prestise, pujian atau kepuasan diri. Akibatnya banyak orang mengaku melayani tetapi akhirnya menjadi marah atau ribut dengan sesama, sebab menganggap bahwa orang yang dilayani tidak peduli padanya atau dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Bagiku disinilah kegagalan sebuah pelayanan.
Maka bila kita ingin melayani harus siap untuk menjadi udara. Tidak dipedulikan saat semua berjalan dengan baik. Dikritik bila ada yang dianggap tidak beres. Tetapi bila semua sudah beres maka kita kembali tidak diperhatikan atau dipedulikan. Bergerak dalam senyap tanpa banyak keributan dan terus mengalir memberi kehidupan seperti kasih ibu dalam lagu “Ibu”.
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.65, Nopember 2015