INSTAN
Seminggu dua kali aku mengajari bahasa Inggris untuk anak-anak asrama. Hal yang paling sulit bagiku adalah bahwa anak-anak belum paham tentang tata bahasa Indonesia yang baku. Mereka masih belum memahami subyek, predikat, obyek, keterangan, kata kerja, kata benda, kata sifat dan sebagainya. Padahal dalam bahasa Inggris ada kata kerja bantu yang tidak ada dalam bahasa Indonesia. Maka aku memulai dengan kalimat-kalimat pendek dan menjelaskan tentang subyek, predikat, obyek dan sebagainya. Dalam mengajar bahasa Inggris pun aku mengulang-ulang soal sederhana untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris, misalnya Saya makan nasi. Saya sedang makan nasi. Saya makan nasi setiap hari. Nasi dimakan oleh saya. Saya pandai dan sebagainya. Meski sudah diulang-ulang tetap saja mereka kesulitan untuk menterjemahkan. Saya sampai bingung. Ini yang salah cara mengajarnya atau apa?
Suatu malam beberapa anak usul agar aku mengajarkan percakapan dalam bahasa Inggris. Kukatakan bagaimana mungkin mulai percakapan bila kalimat pendek saja tidak mampu? Mereka ingin segera mampu berbicara dalam bahasa Inggris meski tidak memahaminya. Sekolah pun memberi PR dengan pengandaian bahwa anak-anak sudah paham berbahasa Inggris. Saat melihat PR anak-anak aku hanya geleng-geleng kepala. Bagaimana menterjemahkan kalimat pendek saja mereka tidak mampu, kini mereka punya PR untuk menterjemahkan cara membuat kue dalam bahasa Inggris. Anak-anak mengatakan teman-teman mereka memakai handphone untuk menterjemahkan dalam bahasa Inggris. Katanya dengan menekan nomor tertetu maka handphone mereka akan menterjemahkan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Aku rasa ini sebuah pembodohan. Anak-anak diajari untuk belajar secara instan. Tanpa perlu repot-repot memahami dasar-dasar berbahasa langsung meloncat membuat kalimat.
Budaya instan bukan hanya milik anak-anak disini. Budaya instan juga menjadi gaya hidup masyarakat di kota bahkan masyarakat yang merasa kaum intelektual. Banyak orang enggan masuk perpustakaan untuk membaca buku. Jika kita misalnya di ruang tunggu bandara. Ada sekian puluh orang yang sedang duduk menunggu keberangkatan pesawat. Berapa orang yang membaca buku? Banyak orang lebih suka membuka situs atau web di internet. Membaca tulisan orang yang belum terjamin kebenarannya. Tetapi dengan membaca itu seolah mereka sudah tahu akan sebuah masalah. Padahal ada banyak tulisan yang beredar di internet tanpa referensi buku yang jelas. Opini-opini pribadi yang belum teruji kebenarannya. Apalagi saat ini banyak beredar opini-opini yang isinya menghasut, fitnah, bohong dan sebagainya. Bahkan ada media televisi yang sering menayangkan hasutan dan kebencian, sebab media ini sarat dengan muatan politik. Opini yang belum terjamin kebenarannya ini dapat langsung ditelan begitu saja seolah sebuah kebenaran tanpa pemikiran yang kritis lalu dijadikan bahan untuk diskusi dan dijadikan pengangan seolah sebuah kebenaran. Bagiku hal ini sama dengan anak-anak, disuruh menterjemahkan “saya makan nasi setiap hari,” saja tidak bisa sudah dengan bangga menunjukkan terjemahan hasil dari google translate atau handphone.
Maka kita perlu kritis dalam membaca berita atau mendengarkan berita. Perlu masuk perpustakaan untuk membaca atau membeli buku-buku yang bermutu. Bukan buku abal-abal yang isinya hanya mencaci maki orang. Membaca buku-buku referensi yang dapat membuat kita kritis. Terus merasa lapar akan kebenaran. Bukan dengan hanya membaca opini di facebook seolah sudah tahu sebuah masalah. Socrates, seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan “Yang saya ketahui dengan pasti adalah saya tidak tahu apa-apa.” Jika kita berpikir seperti Socrates maka kita akan terus belajar dan membaca buku. Bukan menelan begitu saja opini yang ditulis orang, termasuk yang kutulis ini.
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 64, Oktober 2015