Ngapa Mikir?
Lidya: “ Yang ngecas pagi ini banyak, kalau ngecas laptop jangan dinyalakan dulu lah laptopnya, nanti ga mampu akinya karena ga terlalu panas nih sinar mataharinya”
Joni: “Ngapa mikir…..”
********
Lidya: “Sudah jam 10, nih. Harusnya tugas kita yang bunyikan lonceng masuk kelas. Jadi ga enak sama Pak Kepala Sekolah”
Udin: “Ngapa mikir… Kepala Sekolah mau bunyikan. Baguslah”.
Ngapa Mikir. Ucapan trend yang saya temui dan alami saat mengajar di sekolah SD/SMP Satap Laman Mumbung, Menukung. Ketika pertama kali mendengar anak-anak mengucapkannya saat bermain di sungai, saya kaget dan berpikir pengaruh dari sinetron atau dari iklan yang mana sehingga anak-anak dengan fasihnya mengucapkan kata tersebut. Awalnya ketika mendengarnya, saya pikir itu hanya diucapkan anak-anak saat bermain saja. Nyatanya tidak demikian.
Dalam kelas ketika saya menegur ataupun memberi tahu siswa, dengan cueknya mereka berkata: “Ngapa Mikir”. Sedangkan dua percakapan di awal tulisan ini adalah kondisi yang saya alami ketika memberi tahu teman sesama guru. Jawaban “Ngapa Mikir” diberikan. Jawaban itu memang menutup pembicaraan karena sudah tidak mungkin melanjutkan percakapan dengan teman yang sudah Ngapa Mikir.
Ngapa Mikir. Memang begitu mudah untuk diucapkan karena tinggal mengucapkan, sudah, selesai. Tidak usah memikirkan ada atau tidak ada akibat dari keluarnya kata-kata tersebut. Karena maknanya sudah menunjukkan tidak peduli dengan orang lain, bahkan seringkali saat mengucapkannya, mereka juga tidak peduli dengan dirinya sendiri.
Peduli dengan orang lain sebenarnya tidak sulit. Hanya saja, mau atau tidak diri kita menempatkan orang lain di satu bilik hati dan pikiran kita. Ketika kita mempunyai ruang untuk orang lain di hati dan pikiran kita, apapun yang kita lakukan secara tidak langsung akan memikirkan akibatnya baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
Pengalaman dengan sesama guru di SD/SMP Laman Mumbung tersebut mengingatkan saya bahwa peduli kepada orang lain tidak akan membuat kita rugi apapun, hati kita malah akan tenang dan senang. Kemudian, mendengar kata-kata Ngapa mikir membuat jengkel, maka saya sendiri tidak akan menggunakan kata tersebut. Joni dan Udin, teman sesama guru yang biasa bilang ngapa mikir, suatu siang masuk ruang guru sambil ngomel, “ Anak sekarang ini, tadi ditegur karena main di dalam kelas, eh, bukannya pergi, tapi malah bilang, ngapa mikir”…
Saya hanya tersenyum mendengar cerita mereka……
Pinoh, Juni 2015
Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.61, Juli 2015