Bu Sukinah sedang menyalakan api di “luweng”nya, (luweng=tempat memasak yang terbuat dari tanah). Ia mau menanak nasi. Kedua cucunya yang masih kecil sudah lapar. Mereka harus cepat diberi makan. Ia agak sedikit jengkel dengan api di luwengnya karena sebentar-sebentar mati. Berulang kali ia meniup-niup apinya, berharap akan ada bara pada potongan kayu baloknya. Maklum, kayu yang dipakai tidak benar-benar kering. Beberapa potong kayu itu diperoleh dari tetangganya yang baru merenovasi rumah. Potongan kayu-kayu itu tidak terpakai lagi. Daripada dibuang, Bu Sukinah mengambilnya untuk digunakan sebagai kayu bakar. Apa yang mau dibuang orang, justru diambil dan diterima sebagai berkah baginya.
Orang bilang, “zaman ini adalah zaman modern”. Zaman modern ini ditandai dengan arus globalisasi, orang bisa melihat dunia secara lebih terbuka. Tetapi bagi Bu Sukinah, dunianya ya tetap begitu-begitu saja. Cara masaknya tetap dengan cara tradisional, memakai kayu bakar. Rumahnya ya tetap di perkampungan kumuh, bahkan semakin kumuh. Rute perjalanan hariannya tak pernah jauh dari sekitar rumah dan tempat ia bekerja sebagai buruh cuci pakaian dari seorang majikan. Ia tak pernah jalan-jalan ke mall, keluar kota, apalagi keluar negeri (mimpi pun nggak berani). Ia tidak menggunakan Hp, dan ia tak mengenal internet.
Kata orang, zaman modern menawarkan begitu banyak pilihan. Tetapi, persis pada poin ini Bu Sukinah malah tidak punya pilihan lagi. Dalam benaknya, apabila membeli pakaian bukannya mencari “mana yang baik” dan pas untuk dia, tetapi “mana yang murah”. Apabila dapat yang murah, ia senang. Tak persoalan, apakah itu pakaian “lungsuran” (sudah pernah dipakai orang lain, lalu diberikan atau dijual murah). Banyak orang mungkin bisa menawarkan pilihan: “mau makan apa?” Tetapi bu Sakinah akan berkata pada cucunya “makanlah apa yang ada!”. Tak ada pilihan lain lagi, ya itulah yang harus dimakan.
Dalam situasi hidup, seperti yang dialami oleh Bu Sukinah ini, kita praktis sulit berbicara tentang yang namanya harapan. Melihat kenyataan ini, mulut bagai terkatup, terdiam, tak berani banyak bicara lagi. Seperti api dalam luweng itu, dinyalakan berulang kali toh tetap mati lagi. Diteruskan untuk meniup-niup apinya, sebentar kemudian mati lagi. Sepertinya, ini tindakan yang sia-sia, bagai usaha menjaring angin.
Tetapi, justru pada perjuangan Bu Sukinah inilah kita dapat melihat sebuah harapan. Walaupun berulang kali api itu mati, Bu Sukinah tetap berusaha untuk menyalakannya. Ia tidak putus asa. Ia punya harapan. Semangat Bu Sukinah tidak kendur untuk menyalakan apinya. Dan akhirnya, api itu pun menyala. Dengan begitu, Bu Sukinah mendapatkan makanan yang sudah masak dan siap dimakan oleh cucu-cucunya.
Dalam tantangan dan kesulitan, harapan kita sering kali redup. Ketika kita gagal dan jatuh, api harapan kita kadang mati. Namun, kita diajak untuk tidak berhenti berharap. Harapanlah yang mampu memberi gairah pada hidup kita. Oleh sebab itu, nyalakanlah harapanmu, walau penuh perjuangan!
(Rm. Iswandir CM)
dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 5, September thn. 2009
Post Views: 331