Budaya kelapa (catatan mudik…)

Spread the love

Aku teringat saat pohon kelapa masih begitu banyak tumbuh di kampungku . Anak-anak bermain pedang-pedangan dengan janur kuning, sebagian lain bermain pecut yang terbuat dari lidi janur yang sangat elastis. Keluarga biasa berkumpul di serambi sambil membuat dan mengajari anak-anak mereka cara membuat ketupat. Kerajinan membuat hiasan berbasis janur juga mulai diturunkan dari generasi tua ke generasi berikutnya seperti pernik-pernik hiasan kembar mayang dan dekorasi janur.

Di lain kesempatan, anak-anak bermain banteng-bantengan dari pangkal pelepah daun kelapa. Pangkal pelepah daun kelapa yang dipotong bisa berbentuk mirip kepala banteng. Anak-anak menirukan gerakan banteng seperti dalam kesenian bantengan yang sering digelar saat acara bersih desa. Suasana permainan anak itu bisa semakin riuh karena sebagian anak lain akan membunyikan iringan musik dengan memukul-mukul kaleng bekas atau kentongan untuk mengiringi gerakan si banteng.

Saat sore tiba, selalu saja ada aroma khas di kampung ini. Aroma yang berasal dari asap sabut kelapa yang dibakar di samping kandang untuk menghalau nyamuk dan lalat yang mengganggu ternak. Di samping kandang ternak ada kandang ayam dari bambu dengan sejumlah batok kelapa di dalamnya. Batok kelapa itu dipakai untuk wadah pakan ayam

Kini semua itu tidak ada. Tak ada lagi anak-anak yang bermain janur atau belajar membuat ketupat. Jika ada janur pun, tak akan boleh untuk dipakai mainan atau belajar membuat ketupat karena jumlahnya terbatas dan harus dibeli dari pasar. Tak terlihat lagi gayengnya  berkumpul membuat ketupat bersama anggota keluarga dan tetangga di teras depan ruman atau di bawah rindangnya pohon mangga. Tak terlihat kesibukan anak-anak membuat egrang tali dari batok kelapa. Tak bisa kucicipi lagi sayur pondo yang terbuat dari hati pucuk kelapa.

Iseng-iseng aku bertanya kepada keponakan-keponakanku. Mereka ini kuanggap sampel dari anak-anak kampung ini. Ternyata mereka tidak bisa menyebutkan nama tahapan pertumbuhan buah kelapa. Mulai dari manggar (bunga), lalu bluluk (bakal buah), cengkir (kelapa muda yang batok kelapanya masih lunak), degan (kelapa muda) dan akhirnya krambil atau klopo (kelapa tua). Yang mereka tahu adalah degan dan klopo saja. Mereka tidak percaya bahwa pondo itu rasanya manis seperti bengkuang dan yang pasti tak ada satupun keponakanku yang bisa membuat ketupat.

Mungkin orang tua tak punya kesempatan untuk menjelaskkan hal-hal seperti itu kepada anak-anak mereka karena memang di kampung halamanku sudah tak ada lagi pohon kelapa. Jika saat ini anak-anak tak tertarik belajar membuat ketupat mungkin karena mereka juga belum pernah merasakan keriaan bergumul dengan janur. Jika benar demikian, maka pastilah anak-anak di kampungku tak pernah mendengar mitos mengenai anak yang tidak bisa membuat ketupat, filosopi di balik tradisi ketupat lebaran dan nasihat-nasihat bijak yang bisa dituturkan dari sifat pohon kelapa karena tiga hal tersebut biasa dituturkan orang tua kepada anak-anaknya saat mereka beramai-ramai membuat ketupat.

Mudik telah usai

Cukup sudah lebaranku di kampung halaman. Aku harus pulang ke Malang bersama anak dan istriku. Dua hari lagi aku sudah harus masuk kerja. Pengalaman mengamati perubahan di kampung halaman menginspirasiku untuk mengajari anakku cara membuat ketupat. Di rumah, setelah beristirahat melepaskan penat karena perjalanan mudik, aku mengajak anakku untuk belajar membuat ketupat. Kebetulan ada janur yang kudapat dari saudara yang tinggal di daerah Ngebruk Blitar. Sepertinya anakku tak tertarik membuat ketupat, karena terlihat rumit dan membosankan. Tetapi akhirnya malah menjadi kegiatan yang menyenangkan setelah dia berhasil menyelesaikan satu anyaman ketupat. Aku lega melihat anakku bisa membuat ketupat dengan pola anyaman yang bahkan lebih rapi dari yang kucontohkan. “ternyata asyik juga ya membuat ketupat itu!” Serunya.

Akan ada saatnya nanti, aku akan menceritakan kepada anakku tentang filosopi ketupat agar anakku tumbuh sebagai pribadi yang berani mengakui kesalahan, berani mengampuni dan memaafkan kesalahan orang lain. Aku juga akan menceritakan filosopi pohon kelapa, agar anakku tumbuh sebagai orang yang berkarakter kokoh dan mulia yang berani mengoptimalkan kemampuan demi menjadi pribadi yang mandiri dan berguna bagi orang lain.

Dalam keasyikan bersama anakku membuat ketupat, Sejenak aku terdiam karena ada yang terlintas di pikiranku. Aku teringat bahwa balungan atap rumahku ini seluruhnya berbahan pohon kelapa yang dikirim keluargaku dari kampung halaman. Ya ampunn!!! Tanpa kusadari, aku sendiri ternyata menjadi salah satu penyebabnya lenyapnya pohon kelapa dari kampung halamanku.

Oleh : J. Lasmidi (PPS)

Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 101, November 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *