BERSATULAH PELACUR-PELACUR

Spread the love

Malam ini hujan gerimis, meski tadi bulan hampir penuh sempat muncul. Semula kupikir malam akan cerah, ternyata gerimis turun meski bulan masih tampak mengambang di sela pepohonan. Alam kadang membingungkan. Suara air hujan yang berdentang menghantam atap seng tidak mampu mengalahkan suara Rendra yang penuh emosi saat membawakan puisi-puisinya. Beberapa hari lalu aku mendowload beberapa mp3 saat Rendra membacakan puisi-puisinya. Dua puisi karya Rendra yang kusukai yaitu Nyanyian Angsa dan Bersatulah Pelacur-Pelacur Jakarta.

 

Sambil mendengarkan suara Rendra yang menghanyutkan, aku teringat beberapa tahun lalu. Saat itu aku sedang duduk diatas selembar koran tua di bekas stasiun kereta api Wonokromo. Bangunan bekas stasiun itu sudah berubah menjadi lahan kumpulan gubuk-gubuk sederhana. Ada juga tali rafia yang direntangkan membentuk segi empat sebagai batas lahan yang dimiliki oleh seseorang. Beberapa orang berbaring beralas semen atau selembar tikar usang. Bau kencing yang kering, bercampur aduk dengan bau sampah dan tahi. Berputar, mengambang di seluruh bekas bangunan stasiun.

 

Kukeluarkan sebatang rokok. Sambil merokok aku menunggu teman-temanku yang masih bekerja ngamen atau bekerja lain di terminal angkutan yang tidak jauh dari stasiun. Seorang ibu tua memakai kebaya datang menghampiriku. Dia lalu duduk disisiku. Aku mengangguk sambil tersenyum padanya. Dia pun berusaha tersenyum manis. Wajahnya ditutup oleh bedak tebal. Pipinya diberi rona merah. Lipstiknya merah tebal seperti drakula habis minum darah. Dia bertanya apa yang sedang kulakukan. Aku jawab sedang menunggu teman-teman. Dia lalu bertanya apakah aku mau ditemani tidur? Aku berusaha untuk tidak tertawa atau tersenyum. Aku menjawab bahwa aku sedang menunggu teman.

 

Semula ibu itu mengatakan tarif Rp 50,000 jika aku berminat. Aku hanya menggelengkan kepala. Dia lalu menurunkan tarif menjadi Rp 25,000. Aku tetap menggeleng dan menolaknya. Akhirnya dia mengatakan terserah aku mau membayar berapa pun dia mau. Kulihat wajahnya sangat memelas. Lalu kukeluarkan uang Rp 50,000 dari tas kainku yang kumal. Dia menggeleng lemah. Dia tidak mau menerima uangku tanpa melakukan sesuatu untukku. Aku jelaskan bahwa aku disini hanya ingin bertemu teman-teman saja. Akhirnya dia hanya meminta rokok sebatang lalu menghisapnya.

 

Tidak berapa lama kemudian anak-anak datang. Mereka langsung menyerbu bungkus rokokku. Aku hanya menerima bungkus kosong saat dikembalikan padaku. Dengan semangat mereka bercerita apa yang terjadi saat bekerja. Ibu disebelahku hanya menatap saat kami membicarakan aneka hal mengenai kehidupan. Seorang anak berbisik padaku bertanya siapa ibu itu. Aku jawab dia orang yang tinggal disini. Anak itu sambil tertawa kecil memberitahu bahwa ibu itu seorang pelacur.

 

Pelacur memang profesi yang dibenci dan dihina. Tempat mereka berkumpul atau lokalisasi ditutup paksa dengan alasan sarang maksiat. Rendra berusaha berbicara dari sudut pelacur. Menelanjangi kaum politisi, birokrat, pengusaha bahkan para pejuang bangsa yang membutuhkan pelacur. Dia menyebut nama Sarinah dan Dasima. Dalam Nyanyian Angsa digambarkan Maria Zaitun pelacur yang kalah. Ibu pelacur tua tadi tidak jauh berbeda dengan Maria Zaitun, pelacur yang kalah. Sampai tua tetap menjadi pelacur dengan tarif terserah pemakai jasanya. Aku yakin itu adalah situasi yang sangat terjepit. Tetapi dia tetap mempunyai harga diri. Tidak mau menerima uang tanpa melakukan apa yang dia bisa.

 

Melihat situasi saat ini aku bermimpi Rendra kembali meneriakkan puisinya Bersatulah Pelacur Pelacur Kota Jakarta di dalam gedung DPR. Pelacur melakukan transaksi dengan menyewakan tubuhnya, sedangkan sekarang banyak orang melakukan transaksi bukan dengan tubuh melainkan ideologi, akal budi, jabatan, agama, harga diri bahkan nuraninya. Demi uang mereka rela melacurkan semuanya, meski tubuh mereka tertutupi pakaian yang bagus bahkan pakaian keagamaan. Tetapi tidak ubahnya mereka pelacur yang menawarkan jasa dan siap melayani siapa saja yang mampu membayarnya. Mereka akan menerima orang yang mampu memberi uang lebih besar dan meninggalkan pelanggan lama. Seperti pelacur yang tidak memilih pelanggan sakit atau sehat. Seperti pelacur yang memuji-muji pengguna jasanya adalah orang yang hebat meski kenyataannya sangat loyo, sehingga pelanggan merasa dirinya hebat dan akan datang lagi menyewanya serta memberi uang lebih besar. Bagi mereka yang terpenting dapat uang. Jika Rendra berteriak,

 

“Saudari-saudariku.

Bersatulah Ambillah galah

Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya

Araklah keliling kota.

Sebagai panji yang telah mereka nodai.”

 

Kini kutang diganti dengan bendera-bendera partai, lambang-lambang agama, surat-surat pengangkatan jabatan dan ijasah-ijasah kesarjanaan yang telah ternoda. Bersatulah para pelacur.

 

Oleh : Rm. Yohanes Gani CM

Dimuat dalam buletin Fides et Actio edisi No.83. Mei 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *