PERJALANAN NATALAN

Spread the love

Jika teman-teman di kota Natalan sudah selesai, maka aku baru memulai Natalan ke stasi-stasi. Ada 43 stasi yang harus dikunjungi. Bersyukur ada bantuan dari romo di Pinoh yang melayani 5 stasi jadi tinggal 38 stasi lagi. Perjalanan dimulai melalui jalan darat memakai motor. Melalui perkebunan sawit. Jarak yang konon hanya satu jam jadi ditempuh menjadi dua jam lebih. Berputar-putar di perkebunan sawit. Naik turun bukit yang curam dan licin. Syukurlah alam masih berpihak pada kami, sehingga hujan turun di daerah yang tidak kami lalui, maka kami dapat sampai stasi masih belum gelap. Jatuh bangun hanya dibuat cerita lucu yang dapat membuat orang tertawa. 
Mandi di sungai yang dangkal dan deras arusnya membuat tubuh menjadi segar kembali. Undangan makan sudah berdatangan. Makan dari satu rumah ke rumah lain. Bermimpi ada orang yang mempunyai menu makanan berbeda, tetapi setiap masuk dapur ternyata menu sama saja. Babi kecap atau babi disayur campur waluh kuning dan mentimun. Malam misa dengan meriah ala kampung. Yang penting ada orang bernyanyi meski lagu kudus-kudus diganti dengan lagu Malam kudus ya mau apalagi. Terpenting masih ada kata kudusnya. Setelah misa ada makan bersama. Semua menu sama lagi. Malam tidur tidak dapat pulas sebab agats berpesta pora melihat tubuh gemukku. 
Pagi hari melanjutkan lagi naik motor ke stasi berikut. Setelah misa dan makan beberapa kali melanjutkan perjalanan ke stasi berikutnya. Misa sama saja. Makan dengan menu yang sama juga. Jadi membayangkan nikmatnya mie instant atau telur goreng. Buah-buahan banyak. Durian, rambutan yang berbagai jenis, dan langsep berlimpah. Beberapa stasi dilalui. Tidak terasa sudah 8 stasi dilalui. Kini tinggal ke satu stasi yang medannya cukup sulit. 

 

Kami dijemput sebuah sampan kecil disebut ces. Mengarungi sungai kecil penuh bebatuan. Harus naik turun sampan saat sampan ditarik atau diangkat melalui batu-batu besar. Berhenti sejenak untuk menikmati durian yang banyak terapung di sungai. Setelah 2,5 jam akhirnya sampai di stasi akhir. Umat sangat senang menerima kunjungan kami. Baru saja duduk di rumah pemimpin umat sudah ada seorang ibu tua yang mengajak ke rumahnya untuk makan. Menu tetap sama. Babi kuah bercampur waluh kuning. Malam berkumpul bersama umat, istilah sini serongai (bahasa Surabayanya cangkrukan). Tidak lupa tuak keluar. Setelah minum satu gelas, kepala jadi terasa ringan dan rebah tertidur. Umat berharap agar aku mau meminum semua tuak yang disediakan. Bagi mereka sebuah kehormatan bila aku mau meminum tuaknya. Tapi kepala tidak mampu lagi menerima. Akhirnya tertidur. Pagi ada baptisan bayi. Pukul 11 kembali naik ces menuju desa setelah itu dilanjutkan naik motor ke paroki sampai paroki pukul 2.30 basah kuyup tersiram hujan. Bersyukur hujan turun lebat setelah memasuki jalanan kecamatan yang banyak terbuat dari semen.
9 stasi sudah terlalui masih ada 29 stasi lagi. Besok kembali lagi naik motor ke stasi-stasi yang lain. Semuanya pasti akan sama. Makan lauk babi bercampur mentimun atau waluh kuning, tuak, durian, rambutan dan langsep akan menjadi hidangannya. Semoga perut tidak bermasalah dan tubuh mau diajak kompromi. Terpenting alam mau melindungi perjalanan agar tidak terkena hujan di kebun sawit.
Oleh : Rm. Gani Sukarsono CM
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No.67, Januari 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *