Wafer untuk penghuni Liponsos

Spread the love


dok.http://leabenedikta.blogspot.com

Masih melekat kuat dalam ingatanku, sebuah pengalaman berkesan saat aku berkunjung ke Liponsos (Lingkungan Pondok Sosial), Keputih, Surabaya, pada akhir bulan Maret 2013 yang lalu. Pengalaman pertama berinteraksi dengan para wanita penderita gangguan kejiwaan yang ‘diamankan’ disana.
Sekitar pukul 09.00 kami berenam bersama sopir meluncur menuju Liponsos sambil membawa makanan ringan yang akan dibagikan kepada para penghuni Liponsos. Sebelumnya aku sudah pernah datang kesana, tapi hanya berkeliling dan melihat-lihat di area luar ‘kurungan’ yang dihuni oleh orang-orang yang ‘diambil’ dari jalanan oleh Satpol PP, seperti anak jalanan (pengamen, dll), gepeng (gelandangan dan pengemis), WTS, dan orang-orang penderita gangguan kejiwaan. Maka ketika ada tawaran untuk masuk ke dalam ‘kurungan’ dan membagikan wafer, aku pun segera mengiyakan.

Bersama seorang ibu dan dengan didampingi oleh petugas Liponsos, aku mendapat jatah tugas pembagian di bagian wanita penderita gangguan kejiwaan. Sejujurnya masih ada sedikit rasa takut dalam hatiku, meski petugas sudah meyakinkan kami kalau para wanita itu sudah tidak berbahaya lagi. Aku kuatir, jangan-jangan nanti aku dicekik atau dipukul ketika aku berada di dalam nanti. Bagaimanapun juga kan mereka bukan orang normal, demikian pikiran burukku berkecamuk. Namun aku berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan aman-aman saja.
Akhirnya dengan mantap aku melangkahkan kakiku masuk kedalam ‘kurungan’ meski hati ini masih was-was juga. Begitu pintu pagar dibuka, kulihat puluhan wanita kurus dengan penampilan tak terurus sudah bergerombol di dekat pintu pagar. Mereka pun diminta untuk antri di sisi dalam pembatas berupa dua buah bangku kayu panjang. Sambil membagikan wafer, aku tetap waspada kalau-kalau ada yang mendekatiku dan berbuat macam-macam. Dasar paranoid…hehehe…
Setelah antrian habis, petugas mengajak kami untuk masuk ke bagian dalam ‘kurungan’. Ternyata di bagian dalam masih ada beberapa wanita yang tidak dapat ikut antri untuk mendapatkan jatah wafer. Mereka adalah yang lanjut usia dan yang dirantai karena berbahaya. Kami pun berpencar. Aku berkeliling dengan didampingi oleh seorang petugas.
Di bagian tengah, dekat kamar mandi terbuka, kami berkeliling dan berhenti di beberapa titik untuk membagikan wafer. Bau pesing menusuk hidung. Ternyata di lantai kulihat air seni dan bekas kotoran manusia berceceran. Beberapa orang telanjang dan beberapa orang dirantai di bagian leher dan kaki karena sudah menyerang dan menyakiti teman-temannya dan petugas. Saat aku mengulurkan tangan untuk membagikan wafer kepada para wanita yang dirantai, tentu saja aku merasa takut kalau mereka tiba-tiba mengamuk, menarik tanganku, dan menyakitiku. Namun syukurlah kekuatiranku tidak menjadi kenyataan.
Kemudian kami berkeliling di bagian belakang, di bagian kamar-kamar, untuk menemui para lansia. Kulihat kamar-kamar yang kumuh, dengan dipan kayu tanpa kasur. Lalat nampak beterbangan kesana-kemari, hinggap disana-sini. Sedih kalau membayangkan para lansia kurus itu harus tidur dengan keadaan seperti itu.
Selain kondisi tempat dan para penghuni yang memprihatinkan, ada hal lain yang menjadi sorotanku, yaitu reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa wanita disana. Beberapa orang setelah menerima wafer langsung menyalamiku dan mengucapkan terimakasih sambil memberikan doa. Juga, saat aku sedang berkeliling di bagian dekat kamar mandi terbuka, seorang wanita muda berpenampilan acak-acakan mendatangiku dan menyalamiku sambil mengucapkan terimakasih karena aku sudah mau datang. Saat kulingkarkan lenganku pada punggung dan lengannya, dia pun membalas merangkulku dengan tangan kirinya. Dia nampak gembira sekali.
Semua itu berkesan, namun yang paling berkesan adalah saat aku masuk ke dalam sebuah kamar yang didalamnya terdapat 4 orang wanita lansia. Salah satunya telanjang dada dan kulihat ada luka besar menganga pada payudara kanannya. Saat kudekati untuk memberikan wafer, kuamati lukanya dan ternyata payudaranya berlubang dan sudah tidak utuh lagi. Belakangan aku baru tahu dari petugas, ternyata nenek bermata sipit itu mengidap kanker payudara.
Setelah nenek pengidap kanker payudara itu menerima wafer dariku, dia menyalamiku dan mengucapkan terima kasih. Dia nampak ramah dan merasa gembira dengan kehadiranku. Namun nenek itu tidak mau melepaskan tanganku dan berkata, “Kamu ndak boleh pulang”. O oh…rasa takut dan pikiran negatif langsung menyergapku. Apalagi saat kutoleh kebelakang, petugas yang menemaniku sudah tidak nampak lagi. Dia meninggalkan aku sendirian berada di dalam kamar yang berisi 4 orang nenek dengan gangguan kejiwaan, dan salah satunya sedang memegang erat tanganku dan tak mau melepaskannya. Rasa panik pun mulai menyerang. Bagaimana kalau aku dikeroyok dan disakiti oleh nenek-nenek ini? Untuk sesaat aku tidak tahu harus bagaimana, otakku serasa tidak bisa berpikir untuk beberapa detik. Akhirnya dari mulutku hanya bisa terlontar, “Tidak bisa… Saya harus pulang…” Seorang nenek yang lain pun akhirnya meyakinkan temannya itu kalau aku harus pulang. Akhirnya nenek itu pun melepaskan tanganku. Aku pun segera berpamitan dan meninggalkan mereka.
Dalam perjalanan pulang, aku terus terbayang-bayang pengalaman bersama wanita-wanita penderita gangguan kejiwaan itu. Meski mereka itu ‘tidak waras’, mereka tahu berterimakasih. Walau hanya mendapatkan sedikit rejeki berupa beberapa keping wafer, mereka tahu bagaimana mengucap syukur. Menjabat tangan untuk berterima kasih dan memberikan doa bagi si pemberi. Wajah mereka pun nampak sumringah dan ramah.
Hmm… Bagaimana dengan kita yang masih waras ini? Apakah kita juga dapat mensyukuri hal-hal yang kita peroleh dalam hidup ini? Apakah kita tahu menghargai dan berterimakasih atas kebaikan dan pemberian orang lain? Jangan-jangan orang-orang yang tidak waras itu jauh lebih bisa beryukur dan menghargai kebaikan orang lain dibandingkan orang-orang yang masih waras…
Mari kita renungkan bersama…
Prigen, 17 Mei 2013
Lea Benedikta Luciele
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi Mei, No. 47 thn 2014

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *