Dibius Selama 30 Tahun

Spread the love


Selama 30 tahun satu propinsi dibuat “fly”dan dibius oleh tambang emas OK Tedi Mining Limited. Selama itu baik masyarakat maupun Gereja mendapat fasilitas listrik gratis, tis, tis tanpa biaya sedikitpun. Lalu disusul pula dengan aneka sarana penunjang modernitas khas Eropa yang membuat masyarakat makin fly luar biasa. Lompatan teknologi membuat manja dan mematikan kreativitas juga. Padahal mereka tidak terlibat sama sekali di pertambangan yang sudah menguras ribuan ton emas dari bagian timur bumi cendrawasih ini.

Mentalitas berubah drastis. Dari kebiasaan menerima kemurahan alam kepada kebiasaan menerima uang dari pertambangan. Kebiasaan teriak-teriak memanggil teman berubah menjadi autis dengan ponsel di tangan. Kebiasaan bersenda-gurau di halaman dan lapangan berubah menjadi fokus pada layar kaca dan musik reggae dari MP3 yang ditenteng di tangan. Kebiasaan minum air sungai yang segar diubah dengan minum bir, coca cola, fanta, spritedan sejenisnya. Kebiasaan menyalakan api dan pelita diganti dengan ketergantungan pada energi listrik yang ada. Kini, setelah emas nyaris habis terkuras, setelah perusahaan mulai kolaps, keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi gratis-gratisan. Mulai bulan ini semua wajib bayar listrik. Meteran dipasang paksa di rumah-rumah, kantor-kantor, sekolah-sekolah, gereja-gereja dan instansi pemerintah juga. Tidak ada kompromi. Tidak ada lagi diskusi, protes apalagi. Semuanya harus menerima.
Di mana pemerintah? Pemerintah masih tidur karena mabuk uang dan bir berbintang. Mereka tidak punya kemampuan bersuara seperti nabi. Mereka lebih fokus pada pemilu tahun depan untuk merebut kekuasaan. Mereka memilih berada di pihak yang aman dengan aneka jaminan bagi keluarga dan masa depan hidup pribadinya. Lantas di mana Gereja? Gereja sudah berusaha berteriak dari mimbarnya. Sudah memberi peringatan lewat forum Dewan Uskup yang ada. Sudah pula turun dari mimbar dan terlibat dengan aneka pengembangan kesadaran umatnya. Namun…. lebatnya hutan papua, tegarnya tengkuk penguasa dan kuatnya dana pengusaha, telah meredam begitu dalam suara kenabiannya.
Pertambangan OK Tedi terletak di dekat hulu Sungai OK Tedi, di Pegunungan Bintang North Fly  districk, Western Province Papua New Guinea. Andai kata pegunungan ini NAGA. Freeport yang berada di Indonesia adalah kepalanya. Sementara ekornya ada di Papua New Guinea. Freeport masih menikmati kepala dan mungkin nanti tubuhnya juga. Sementara ekornya sudah nyaris habis. Saham Ok Tedi Mining Limited (OTML) memang mayoritas dimiliki oleh Program Pembangunan Berkelanjutan Pemerintahan PNG (PNGSDP). Sebelum 2002, saham mayoritas dimiliki oleh BHP Billiton, perusahaan pertambangan terbesar di dunia sejak merger tahun 2001.
Sebelum operasi penambangan Gunung Fubilan yang merupakan ekor naga raksasa ini adalah sebuah gunung tembaga dengan topi emas. Pengeboran dan eksplorasi di daerah ini mulai pada tahun 1970-an dan dijalankan oleh Kennecott  Copper Corporation. Pada awal 80-an, BHP (sekarang BHP Billiton) diambil-alih oleh OK Tedi. Pada tahun 1984 mereka mulai mengeksploitasi topi emas di gunung dengan menggunakan prosedur ekstraksi sianida. Setelah deposit emas mulai habis, deposit tembaga yang jauh lebih besar menjadi sasaran di bawahnya. Pada saat itu, deposit ini diyakini menjadi deposit tembaga yang terbesar di dunia. Billiton menandatangani kemitraan dengan pemerintahan Papua Nugini dan sebuah perusahaan Kanada, Inmet Mining Corporation untuk menambang deposit tembaga itu. Sekitar 20 tahun setelah awal operasi penambangan, mayoritas kepemilikan saham berubah ke tangan PNGSDP. Meski demikian, kebijakan itu tidak pernah merubah kehidupan masyarakat setempat ke arah yang lebih baik.
Pertambangan bekerja secara luar biasa. Gunung Fubilan telah direduksi menjadi sebuah lubang raksasa dalam di tanah. Pada 31 Desember 2004, 8.896.577 ton konsentrat tembaga (yang mengandung 2.853.265 ton logam tembaga dan 7.035.477 troy ons atau 218,8278 ton logam emas) telah ditambang. Selain itu, antara tahun 1985, dan 1990 ton 47,642 (1.531.700 ons) emas batangan yang diproduksi. Ada sebuah pabrik yang berdekatan dengan pertambangan yang mengubah bahan baku yang ditambang menjadi bubur konsentrat tembaga. Konsentrat tembaga diproduksi sebagai lumpur dan dialirkan lewat pipa sepanjang 137 km (85 mil) sepanjang Jalan Raya Kiunga-Tabubil ke arah Kiunga sebagai pelabuhan utama. Konsentrat itu lalu dikirim melalui tongkang dari sungai Sungai Fly River.
Pada tahun 1999, sudah ada laporan tentang kerusakan lingkungan akibat pertambangan ini. Operator tambang mengatakan bahwa pelepasan 80 juta ton tailing, overburden dan erosi  telah terinduksikan ke dalam sungai setiap tahun. Ini menyebabkan kerusakan yang luas dan beragam, baik lingkungan maupun sosial bagi 50.000 orang yang tinggal di 120 kampung di hilir tambang. Kontaminasi kimia kemudian menyebabkan kerugian bagi semua spesies hewan yang hidup di dalam sungai serta mengganggu kesehatan masyarakat juga. Pembuangan limbah telah mengubah dasar sungai, menyebabkan sungai dangkal dan mengganggu jalur transportasi masyarakat lokal. Banjir yang disebabkan oleh pertambangan ini meninggalkan lapisan tebal dan berlumpur serta mengkontaminasi dataran, perkebunan talas, pisang dan sagu yang merupakan pokok dari makanan masyarakat lokal.
So, what next? Paradigma berpikir dan bertindak perlu ditinjau kembali. Kebiasaan dan tradisi perlu direvisi lagi. Ada apa dengan dunia dan hidup kita selama ini? Seorang bapak tua dengan penuh emosi di dada dan mata yang berkaca-kaca bercerita bahwa situasi ini sudah dia katakan berulang-ulang ketika dia masih muda. Dia sudah membayangkan dan berkata bahwa tidak mungkin kita hidup gratis. Tidak mungkin kita selalu mendapatkan sesuatu dengan cara yang mudah. Tidak mungkin kita selalu disuap di mulut kita untuk mengenyangkan perut kita. Kita sendiri harus bekerja dan berusaha. Kita tidak bisa menjadi penonton, melihat dan kagum begitu rupa dengan orang-orang asing yang membawa emas kilau-kemilau melenggang keluar dari tanah kita. Sekarang, mau apalagi. Setelah mereka akan pergi, dunia kita akan kembali gelap gulita. Kita akan kembali menyalakan pelita dan mengisar tangan untuk mendapatkan api dan bara. Mengapa? Karena kita tidak punya uang untuk membayar listrik. Sementara itu, kita tidak punya keterampilan apa-apa untuk bekerja, sebab selama ini kita diam dan berpangku tangan melihat dunia yang terus bergelora.
Nyalakan dahulu pelita hati dan budimu.
Supaya masa depan kita terang dan bercahaya.
Bukan  oleh orang dari luar yang datang membawanya.
Tetapi oleh kita sendiri yang mengusahakannya sekuat tenaga.
Rm.Silvinus Sapomo CM
Kamis, 7 Juli 2011
(Tepat tiga bulan kehadiranku di Kiunga).
Dimuat dalam buletin Fides Et Actio edisi No. 23, Mei 2012

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *